Rabu, 30 September 2009

Kain Sasirangan - Banjar Kalimantan Selatan

Kain sasirangan adalah sejenis kain yang diberi gambar dengan corak dan warna tertentu yang sudah dipolakan secara tradisional menurut citarasa budaya yang khas etnis Banjar di Kalsel.

Secara etimologis istilah Sasirangan bukanlah kata benda sebagaimana yang dikesankan oleh pengertian di atas, tapi adalah kata kerja. Sa artinya satu dan sirang artinya jelujur. Ini berarti sasirangan artinya dibuat menjadi satu jelujur.Kain sasirangan memang identik dengan kain yang diberi gambar dengan corak warna-warm berbentuk garis-garis jelujur yang memanjang dari bawah ke atas (vertikal). Sungguhpun demikian, istilah sasirangan sudah disepakati secara social budaya (arbitrer) kepada benda berbentuk kain (kata benda).
Pada mulanya kain sasirangan disebut kain langgundi, yakni kain tenun berwana kuning. Ketika Empu Jatmika berkuasa sebagai raja di Kerajaan Negara Dipa pada tahun 1355-1362. Kain langgundi merupakan kain yang digunakan secara luas sebagai bahan untuk membuat busana harian oleh segenap warga negara Kerajaan Negara Dipa.
Hikayat Banjar memaparkan secara tersirat bahwa di kawasan yang sekarang ini dikenal sebagai pusat kota Amuntai banyak berdiam para pengrajin kain langgundi. Keterampilan membuat kain langgundi ketika itu tidak hanya dikuasai oleh para wanita yang sudah tua saja, tetapi juga dikuasai oleh para wanita yang masih gadis belia. Paparan ini menyiratkan bahwa kain langgundi ketika itu memiliki pangsa pasar yang besar. Jika tidak, maka sudah barang tentu tidak bakal banyak warga negara Kerajaan Negara Dipa yang menekuninya sebagai pekerjaan utama. Bukti bahwa di kota Amuntai ketika itu banyak berdiam para pembuat kain langgundi adalah paparan tentang keberhasilan Lambung Mangkurat memenuhi permintaan Putri Junjung Buih sebagai syarat kesediaannya untuk dijadikan raja putri di Kerajaan Negara Dipa.Menurut Hikayat Banjar, Putri Junjung Buih ketika itu meminta Lambung Mangkurat membuatkan sebuah mahligai megah yang harus selesai dikerjakan dalam tempo satu hari oleh 40 orang tukang pria yang masih bujangan. Selain itu, Putri Junjung Buih juga meminta Lambung Mangkurat membuatkan sehelai kain langgundi yang selesai ditenun dan dihiasi dalam tempo satu hari oleh 40 orang wanita yang masih perawan.Semua permintaan Putri Junjung Buih itu dapat clipenuhi dengan mudah oleh Lambung Mangkurat. Paparan ini menyiratkan bahwa di kota Amuntai ketika itu banyak berdiam para tukang pria yang masih bujang, dan para penenun wanita yang masih perawan. Jika tidak, maka sudah barang tentu Lambung Mangkurat tidak akan mampu memenuhi semua permintaan Putri Junjung Buih. Pada hari yang telah disepakati, naiklah Putri Junjung Buih ke alam manusia meninggalkan tempat persemayamannya selama ini yang terletak di dasar Sungai Tabalong. Ketika itulah warga negara Kerajaan Negara Dipa melihat Putri Junjung Buih tampil dengan anggunnya. Pakaian kebesaran yang dikenakannya ketika itu tidak lain adalah kain langgundi warna kuning basil tenuman 40 orang penenun wanita yang masih perawan (Ras, 1968 : Baris 725-735, Hikajat Bandjar)
Merujuk kepada paparan yang ada di dalam Hikayat Banjar (selesai ditulis tahun 1635), kain langgundi sebagai cikal bakal kain sasirangan sudah dikenal orang sejak tahun 1365 M. Namun, sudah barang tentu kain langgundi yang dibuat pada kurun-kurun waktu dimaksud sudah tidak mungkin ditemukan lagi artefaknya.Menurut laporan Wulan (2006), kain sasirangan yang paling tua berusia sekitar 300 tahun. Kain sasirangan ini dimiliki oleh Ibu Ida Fitriah Kusuma, salah seorang warga kota Banjarmasin (Tulah Mata Picak Tangan Tengkong, SKH Mata Banua Banjarmasin, Senin, 13 November 2006, hal 1 bersambung ke hal 13). Konon, sejak Putri Junjung Buih mengenakan kain langgundi, maka sejak itu pula, warga negara Kerajaan Negara Dipa tidak berani lagi mengenakan kain langgundi. Mereka khawatir akan kualat karena terkena tulah Putri Junjung Buih yang sejak itu menjadi raja putri junjungan mereka. Akibatnya, para pengrajin kain langgundi tidak lagi membuatnya, karena pangsa pasarnya memang sudah tidak ada lagi. Meskipun demikian, kain langgundi ternyata tidaklah punah sama sekali. Beberapa orang warga negara Kerajaan Negara Dipa masih tetap membuatnya. Kali ini kain langgundi dibuat bukan untuk dijadikan sebagai bahan pembuat busana harian, tetapi sebagai bahan pembuat busana khusus bagi mereka yang mengidap penyakit pingitan. Penyakit pingitan adalah penyakit yang diyakini sebagai penyakit yang berasal dari ulah para arwah leluhur yang linggal di alam roh (alam barzah).Menurut keyakinan yang sudah berurat berakar di kalangan etnis Banjar di Kalsel, konon para arwah leluhur itu secara berkala akan menuntut anak, cucu, buyut, intah, piat keturunannya untuk mengenakan kain langgundi. Begitulah, setiap satu, tiga, lima, dan tujuh tahun anak, cucu, buyut, intah, piat keturunannya akan jatuh sakit akibat terkena penyakit pingitan. Tidak ada obat lain yang dapat menyembuhkannya dari penyakit pingitan itu kecuati mengenakan kain langgundi. Kain langgundi yang di pergunakan sebagai sarana pelengkap dalam terapi pengobatan alternatif itu dibuat dalam berbagai bentuk sesuai dengan keperluan, seperti sarung (tapih bahalai), bebat (babat), selendang (kakamban), dan ikat kepala (laung).
Corak dan warna gambar kain langgundi sangatlah beragam (tidak melulu bercorak getas dan berwarna dasar kuning saja), karena setiap jenis penyakit pingitan menuntut adanya kain langgundi dengan corak dan warna gambar tertentu yang saling berbeda-beda. Sejak dipergunakan sebagai sarana pelengkap dalam terapi pengobatan alternatif inilah kain langgundi lebih dikenal sebagai kain sasirangan. Nama ini berkaitan dengan cara pembuatan, yakni disirang (kain yang dijelujur dengan cara dijahit kemudian dicelup ke dalam zat pewarna). Ketika masih bernama kain langgundi, kain sasirangan difungsikan sebagai kain untuk busana semua lapisan masyarakat di Kerajaan Negara Dipa, bahkan mungkin sejak zaman keemasan Kerajaan Nan Sarunai sebelum ditaklukkan oleh Empu Jatmika pada tahun 1355. Ini berarti fungsi kain sasirangan ketika itu (sebelum tahun 1355) merujuk kepada fungsi umum sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan jasmani seluruh warga negara.
Setelah Putri Junjung Buih, kemudian Pangeran Surianata, dan anak, cucu, buyut, intah, piat keturunannya berkuasa di Kerajaan Negara Dipa, kain langgundi hanya boleh dikenakan sebagai busana kebesaran para bangsawan kerajaaan. Rakyat jelata tidak berani mengenakannya sebagai busana harian karena, takut terkena tulah. Ini berarti fungsi kain sasirangan ketika, itu (sesudah tahun 1335) merujuk kepada fungsi khusus sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan jasmani bagi para bangsawan kerajaan saja.Fauzi (1993), memperkirakan sejak abad ke 14-15 kain sasirangan berubah menjadi kain yang dikeramatkan dan kain Pamintaan, yakni kain yang hanya dibuat berdasarkan permintaan anak, cucu, buyut, intah piat para bangsawan pengidap penyakit pingitan. Konon, diyakini tidak ada obat lain yang mujarab bagi para pengidap penyakit pingitan ini selain dari pada mengenakan kain sasirangan di kepala (ikat kepala, selendang), di perut (bebat), atau bahkan menjadikannya sebagai selimut fidur (sarong). Menurut penuturan nenek Jumantan (72 tahun), seorang juru sembuh terkenal di kota Banjarmasin, para pasien penyakit pingitan yang datang berobat kepadanya tidak lain adalah orang-orang yang masih mempunyai hubungan pertalian darah dengan nenek moyang mereka yang dulu tinggal di Amuntai, Alabio, Kalua, dan Margasari (Wulan, 2006). Patut diduga, nenek moyang para pasien nenek Jumantan tersebut tidak lain adalah anak, cucu, buyut, intah, piat dari 40 orang wanita perawan yang dulu berjasa membantu Lambung Mangkurat membuatkan kain langgundi yang diminta oleh Putri Junjung Buih. Ini berarti fungsi kain sasirangan sudah bergeser.
Perbedaan asal-usul geneologis nenek moyang antara anak, cucu, keturunan bangsawan berdarah biro menuntut perlakuan yang berbeda dalam hal proses penyembuhan. Proses penyembuhan penyakit yang dideritanya, keturunan rakyat jelata dapat dilakukan dengan cara-cara yang sederhana. Sekadar meminum air putih yang sudah diberi mantra-mantra atau doa-doa oleh para jurusembuhnya.Sementara proses penyem¬buhan penyakit yang diderita oleh keturunan bangsawan sudah mengalami perumitan yang sedemikian rupa. Proses penyembuhan penyakit yang mereka derita harus dilengkapi dengan terapi mengenakan kain sasirangan yang harganya relatif mahal . Paparan ini merupakan petunjuk bahwa kain sasirangan pada zaman dahulu kala pernah menjadi simbol status sosial di kalangan etnis Banjar di Kalsel.
Kasus semacam ini masih terjadi hingga sekarang ini. Rakyat jelata yang hidupnya miskin hanya diberi fasilitas pengobatan setara dengan dana yang tersedia dalam program asuransi kesehatan bagi rakyat miskin. Sementara itu para pejabat bahkan para mantan pejabat diberi fasilitas pengobatan yang terbilang istimewa dan dirawat di rumah sakit berkelas dengan dana ditanggung negara. Menurut keterangan nenek Antung Kacit, siapa saja yang nenek moyangnya bukan keturunan bangsawan atau bukan keturunan pembuat kain sasirangan, akan kualat karena terkena tulah yang sangat menakutkan, yakni ninta picak tangan tengkong (bahasa Banjar, arfinya mata buta dan tangan mati rasa karena terkena stroke).

Kain Pinawitengan - Sulawesi Utara

Batu Pinawetengan menurut Cerita Rakyat.
Ceritera rakyat mengenai adanya batu Pinawetengan di temukan penulis J.G.F Riedel dari cerita rakyat tombulu yang di cetak dalam bentuk buku berjudul "AASAREN TUAH PUHUHNA NE MAHASA" terbit di tahun 1870 dalam bahasa Tombulu. Lokasi tempat batu Pinawetengan pada mulanya hanya disebut tempat berkumpulnya penduduk Minahasa yang terletak di tengah-tengah Tanah Minahasa. Kemudian disebut tempat Pahawetengan Posan, pembahagian tatacara beribadat agama suku. Lokasinya disebuah tempat yang bernama bukit AWOHAN (AWOAN) di Tompaso.

Istilah Watu Pinawetengan pada waktu itu belum ada, karena batu suci tempat upacara PAHAWETENGAN POSAN belum ditemukan karena sudah tertimbun dan masuk ke dalam tanah. Kemudian di tahun 1888 pada bulan Juni J.Alb.T. Schwarz seorang pendeta di Sonder membiayai penggalian batu Suci orang Minahasa tersebut, dan bulan Juli 1888 batu itu di temukan lalu lahirlah istilah "Watu Pinawetengan". Usia gambar-gambar di batu Pinawetengan di analisa penulis J.G.F Riedel berasal dari abad ke-7 (tujuh).


Analisa Arti Gambar Oleh J.Alb.T Schwarz.

Orang pertama yang menganalisa garis gambar di permukaan batu Pinawetengan adalah Pendeta J.Alb.T Schwarz, berdasarkan komentar Hukum Tua Kanonang Joel Lumentah. Keterangan Hukum Tua Kanonang dan seorang guru dari Sonder hanya mengenai bentuk segi-tiga adalah bentuk atap rumah pemimpin utama Minahasa yang memimpin upacara adat di batu Pinawetengan. Keterangan penting lainnya adalah gambar-gambar yang ada di tahun 1888 dan sekarang ini sudah hilang. Seperti gambar kelelawar, ikan hiu, buaya, jaring penangkap ikan. Hanya sampai disini uraian penulis J.Alb. Schwarz dalam bukunya "ETHNOGRAPHICA VIT DE MINAHASSA". Arti gambar manusia tidak dapat di analisa oleh Penulis J.Alb.T Schwarz.


Analisa Arti Gambar Oleh Jessy Wenas.

Penulis melanjutkan penelitian arti gambar batu Pinawetengan dengan melengkapi data cerita rakyat Tontemboan buku tulisan J.Alb.T.Schwarz "Tontembeansche Taksten" terbitan tahun 1907. bahwa pemimpin upacara adat di pinawetengan Maha dewa Muntu-Untu tidak hanya satu orang tapi ada beberapa orang dalam kurun waktu 800 Tahun. Kemudian membandingkan gambar manusia di Pinawetengan yang punya kesamaan dengan gambar manusia di gua Angano Filipina yang berusia 3000 tahun yang lalu, memberi data bahwa pembuatan gambar di batu Pinawetengan bukan hanya mulai dari abad ke-7 tetapi sudah di mulai sejak jaman sebelum Masehi. Untuk lebih mendalami penelitian simbol-simbol perbandingan gambar-gambar binatang dan benda lainnya dari sistim zodiak Minahasa dari buku " De alfoersche Dierenriem " tulisan pendeta berkebangsaan Belanda Jan Ten Hove cetakan Tahun 1887. Karena uraian simbol-simbol gambar zodiak buku JAN TEN HOVE tahun 1887 sangat jelas mengenai penggunaan simbolisasi itu. Maka bahan keterangan data itu digunakan penulis untuk menguraikan lebih jauh arti- arti gambar yang bukan gambar manusia di permukaan batu Pinawetengan.

Kain Kerawang - Gorontalo


Kain Kerawang


Asal Daerah/Kota: Gorontalo
Propinsi: Sulawesi Utara
Kain kerawang biasanya terdapat corak yang tidak rata memenuhi pipa bidang, bahkan cederung hanya sebagai pemanis (aksen) keseluruhan kain. Pada teknik ini benang pakan pada bagian-bagian tertentu dipotong sehingga yang tersisa jajaran benang-benang lungsi saja. Lungsi-lungsi inilah yang disulam sehingga muncullah corak-corak tetentu.

(http://budaya-indonesia.org/)

Selasa, 29 September 2009

Kain UIS - Sumatera Utara

UIS

Masyarakat karo mengenal UIS, kain yang ditenun dari benang. Biasanya Kain UIS ini dipakai dalam upacara/acara adat. Bahkan dalam zaman modern saat ini masih banyak digunakan. Tidak jarang kaum ibu masih terus menggunakannnya, termasuk memakainya dalam ibadah di gereja.

(http://budaya-indonesia.org)

Kain Kambala - Sumba NTT


Kain Kambala
 
Asal Daerah/Kota: Sumba Timur
Propinsi: NTT
Deskripsi: Kain koleksi Biranul Anas, Bandung (65 x 200 cm).

Kain Kambala merupakan kain tempa kulit kayu dengan tingkat kelenturan lembar juga relatif rendah. yang berhiaskan corak-corak khas yang terdapat dalam alam kepercayaan masyarakat setempat. Teknik terapan yang digunakan adalah sulam dan rat pewarna bubukan (coletan) sederhana.


(http://budaya-indonesia.org/)

Senin, 28 September 2009

Capo - Papua


Capo

Asal Daerah/Kota: Papua, Propinsi: Papua

Capo merupakan sejenis kain tempa dengan hiasan pilin ganda.






 


(http://budaya-indonesia.org/)


Kain Kombouw - Papua


Kombouw
Asal Daerah: sekitar Danau Sentani, Papua 

Deskripsi: Berupa lembar-lembar kain berukuran : 6Ox70 cm, terbuat dari kulit kayu tempa daerah danau Sentani, Irian Jaya, dihias dengan corak-corak dari zat pewarna, pigmen warna Putih terbuat dari kerang-kerangan, Hitam atau nokoman diperoleh dari jelaga, dan merah atau hasai yang dibuat dari tanah merah.

(http://budaya-indonesia.org/)