Rabu, 07 Oktober 2009

Kain Basurek - Bengkulu


Kain besurek adalah salah satu kain batik hasil kerajinan tradisional daerah Bengkulu yang telah diwariskan secara turun – temurun dari generasi ke generasi. Meskipun kain besurek diyakini sebagai hasil budaya fisik masyarakat Melayu Bengkulu, tapi pada motifnya terlihat pengaruh unsur-unsur kebudayaan Islam, yaitu motifnya yang bernuansa kaligrafi Arab. Dalam perkembangan selanjutnya motif-motif tersebut dimodifikasi dengan menambahkan raflesia, bunga kibut.

Motif asli atau dasar kain besurek terdiri dari tujuh motif, antara lain:

1. Motif Kaligrafi Arab, Arti motif kaligrafi Arab artinya motif pada kain besurek berupa tulisan Arab.

2. Rembulan – Kaligrafi Arab, Motif rembulan dipadu dengan kaligrafi Arab menggambarkan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

3. Kaligrafi Arab – Kembang Melati, motif ini selain menunjukkan adanya pengaruh Islam (kaligrafi Arab) juga menggambarkan kehidupan flora. Bunga melati adalati salah satu jenis tanaman yang banyak terdapat serta digunakan di Bengkulu sejak dulu.

4. Kaligrafi Arab – Burung Kuau, lukisan burung kuau dan kaligrafi Arab pada kain besurek menggambarkan kehidupan fauna. Burung kuau adalah hasil ciptaan pengrajin sejak dulu.

5. Pohon Hayat – Burung Kuau – Kaligrafi Arab, kain besurek dengan motif ini bisa dikatakan lebih berkembang dari yang disebutkan sebelumbya, karena terdiri dari tiga jenis motif/gambar. Motif kain ini menggambarkan kehidupan flora, fauna, dan pengaruh Islam.

6. Kaligrafi Arab - Kembang Cengkeh – Kembang Cempaka. Motif ini menggambarkan kehidupan flora dan fauna. Kembang cengkeh dan bunga cempaka adalah jenis tanaman yang banyak terdapat di Bengkulu.

7. Kaligrafi Arab – Relung Paku – Burung Punai. Motif ini menggambarkan kehidupan flora dan fauna. Relung paku adalah jenis tanaman yang banyak dijumpai di Bengkulu pada jaman dahulu. Oleh karena itu tanaman inipun mengilhami para pengrajin kain besurek untuk melukisnya di atas kain.



Eny Christyawati, dan Siti Rohanah, Motif dan Makna Kain Basurek bagi Masyarakat Bengkulu. Padang : Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang, 2004.

Kain Batik

Motif kain adat dapat dilihat sebagai salah satu sarana komunikasi tradisional yang memuat lambang-lambang atau simbol-simbol budaya tertentu. Simbol-simbol adat sesungguhnya dapat berlaku sebagai pranata karena dengan makna dibalik simbol itu, setiap penerima simbol akan menyadari sesuatu yang harus dan tidak harus dijalankannya. Sehingga motif batik tradisional merupakan pesan nonverbal.

Masyarakat Jawa sampai sekarang masih mempunyai kepercayaan terhadap “batik tradisional” yang bermotif tertentu. Adapun kepercayaan ini antara lain tercermin pada upacara adat pernikahan Jawa, dimana mereka memiliki kepercayaan bahwa batik sebagai salah satu alat perlengkapan pernikahan adat dianggap mempunyai kekuatan magis, dan pernikahannyapun menurut aturan-aturan tertentu yang tidak boleh dilangggar begitu saja. Disamping itu pada sementara orang Jawa masih pula hidup pemikiran bahwa motif batik tradisional yang sering digunakan sebagai alat perlengkapan upacara pernikahan adat Jawa memiliki mitologi tertentu yang memberikan arti khusus dan harus mendapatkan perhatian yang khusus pula bagi para pemakainya. Pemakaian motif batik-batik tradisional tertentu baik oleh pengantin pria dan pengantin wanita, orang tua dari kedua belah pihak maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan pada proses pelaksanaan tersebut secara menyeluruh, mulai dari awal sampai akhir dari rangkaian upacara pernikahan itu, umumnya juga didasari oleh pemikiran-pemikiran tersebut diatas.

Ada 7 macam motif dalam batik tradisional yaitu: motif Sawat, motif Gurda, motif Meru, motif Semen, motif Bango Tulak, motif Sindur, motif Gadhung Mlati

Pengertian Batik
Kata Batik berasal dari bahasa Jawa “amba” yang berarti menulis dan “titik”. Kata batik merujuk pada kain dengan corak yang dihasilkan oleh bahan “malam” (wax) yang diaplikasikan ke atas kain, sehingga menahan masuknya bahan pewarna (dye), atau dalam Bahasa Inggrisnya “wax-resist dyeing”(www.wikipedia.com).

Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Perempuan-perempuan Jawa di masa lampau menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian, sehingga di masa lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai ditemukannya “Batik Cap” yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini. Ada beberapa pengecualian bagi fenomena ini, yaitu batik pesisir yang memiliki garis maskulin seperti yang bisa dilihat pada corak “Mega Mendung”, dimana di beberapa daerah pesisir pekerjaan membatik adalah lazim bagi kaum lelaki.

Tradisi falsafah Jawa yang mengutamakan pengolahan jati diri melalui praktek-praktek meditasi dan mistik dalam mencapai kemuliaan adalah satu sumber utama penciptaan corak-corak batik tersebut selain pengabdian sepenuhnya kepada kekuasaan raja sebagai pengejawantahan Yang Maha Kuasa di dunia. Sikap ini menjadi akar nilai-nilai simbolik yang terdapat di balik corak-corak batik menurut Djajasoebrata (dalam Anas, Biranul, 1995: 64). Pola, motif dan warna dalam batik, dulu mempunyai arti simbolik. Ini disebabkan batik dulu merupakan pakaian upacara ( kain panjang, sarung, selendang, dodot, kemben, ikat kepala ), oleh karena itu harus dapat mencerminkan suasana upacara dan dapat menambah daya magis. Karena itu diciptakanlah berbagai pola dan motif batik yang mempunyai simbolisme yang bisa mendukung atau menambah suasana religius dan magis dari upacara itu. “ Jadi batik tidak hanya untuk memperindah tubuh dan menyenangkan pandangan mata saja, tapi merupakan bagian dari upacara itu sendiri bersama dengan alat-alat upacara yang lain” ( Iwan Tirta, 1985: 3). “Motif-motif batik tidak sekedar gambar atau ilustrasi saja namun motif-motif batik tersebut dapat dikatakan ingin menyampaikan pesan, karena motif-motif tersebut tidak terlepas dari pandangan hidup pembuatnya, dan lagi pemberian nama terhadap motif-motif tersebut berkaitan dengan suatu harapan”
( Kuswadji, K, 1985:10-11).

Ragam corak dan warna Batik dipengaruhi oleh berbagai pengaruh asing. Awalnya, batik memiliki ragam corak dan warna yang terbatas, dan beberapa corak hanya boleh dipakai oleh kalangan tertentu. Namun batik pesisir menyerap berbagai pengaruh luar, seperti para pedagang asing dan juga pada akhirnya, para penjajah. Warna-warna cerah seperti merah dipopulerkan oleh orang Tionghoa, yang juga mempopulerkan corak phoenix. Bangsa penjajah Eropa juga mengambil minat kepada batik, dan hasilnya adalah corak bebungaan yang sebelumnya tidak dikenal (seperti bunga tulip) dan juga benda-benda yang dibawa oleh penjajah (gedung atau kereta kuda), termasuk juga warna-warna kesukaan mereka seperti warna biru. Batik tradisonal tetap mempertahankan coraknya, dan masih dipakai dalam upacara-upacara adat, karena biasanya masing-masing corak memiliki perlambangan masing-masing.

Teknik membatik telah dikenal sejak ribuan tahun yang silam. Tidak ada keterangan sejarah yang cukup jelas tentang asal usul batik. Ada yang menduga teknik ini berasal dari bangsa Sumeria, kemudian dikembangkan di Jawa setelah dibawa oleh para pedagang India. Saat ini batik bisa ditemukan di banyak negara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, India, Sri Lanka, dan Iran. Selain di Asia, batik juga sangat populer di beberapa negara di benua Afrika. Walaupun demikian, batik yang sangat terkenal di dunia adalah batik yang berasal dari Indonesia, terutama dari Jawa.

Sejarah pembatikan di Indonesia berkait erat dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerjaan Solo dan Yogyakarta.

Jadi kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerjaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah perang dunia kesatu habis atau sekitar tahun 1920. Adapun kaitan dengan penyebaran ajaran Islam. Banyak daerah-daerah pusat perbatikan di Jawa adalah daerah-daerah santri dan kemudian Batik menjadi alat perjaungan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedagang Muslim melawan perekonomian Belanda.

Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.
Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga kraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria. Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri.

Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai tediri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari: pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanahlumpur.

Jaman Majapahit
Batik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan Majahit, dapat ditelusuri di daerah Mojokerto dan Tulung Agung. Mojoketo adalah daerah yang erat hubungannya dengan kerajaan Majapahit semasa dahulu dan asal nama Majokerto ada hubungannya dengan Majapahit. Kaitannya dengan perkembangan batik asal Majapahit berkembang di Tulung Agung adalah riwayat perkembangan pembatikan didaerah ini, dapat digali dari peninggalan di zaman kerajaan Majapahit. Pada waktu itu daerah Tulungagung yang sebagian terdiri dari rawa-rawa dalam sejarah terkenal dengan nama daerah Bonorowo, yang pada saat bekembangnya Majapahit daerah itu dikuasai oleh seorang yang benama Adipati Kalang, dan tidak mau tunduk kepada kerajaan Majapahit.

Diceritakan bahwa dalam aksi polisionil yang dilancarkan oleh Majapahit, Adipati Kalang tewas dalam pertempuran yang konon dikabarkan disekitar desa yang sekarang bernama Kalangbret. Demikianlah maka petugas-petugas tentara dan keluara kerajaan Majapahit yang menetap dan tinggal diwilayah Bonorowo atau yang sekarang bernama Tulungagung antara lain juga membawa kesenian membuat batik asli.

Daerah pembatikan sekarang di Mojokerto terdapat di Kwali, Mojosari, Betero dan Sidomulyo. Diluar daerah Kabupaten Mojokerto ialah di Jombang. Pada akhir abad ke-XIX ada beberapa orang kerajinan batik yang dikenal di Mojokerto, bahan-bahan yang dipakai waktu itu kain putih yang ditenun sendiri dan obat-obat batik dari soga jambal, mengkudu, nila tom, tinggi dan sebagainya.

Obat-obat luar negeri baru dikenal sesudah perang dunia kesatu yang dijual oleh pedagang-pedagang Cina di Mojokerto. Batik cap dikenal bersamaan dengan masuknya obat-obat batik dari luar negeri. Cap dibuat di Bangil dan pengusaha-pengusaha batik Mojokerto dapat membelinya dipasar Porong Sidoarjo, Pasar Porong ini sebelum krisis ekonomi dunia dikenal sebagai pasar yang ramai, dimana hasil-hasil produksi batik Kedungcangkring dan Jetis Sidoarjo banyak dijual. Waktu krisis ekonomi, pengusaha batik Mojoketo ikut lumpuh, karena pengusaha-pengusaha kebanyakan kecil usahanya. Sesudah krisis kegiatan pembatikan timbul kembali sampai Jepang masuk ke Indonesia, dan waktu pendudukan Jepang kegiatan pembatikan lumpuh lagi. Kegiatan pembatikan muncul lagi sesudah revolusi dimana Mojokerto sudah menjadi daerah pendudukan.

Ciri khas dari batik Kalangbret dari Mojokerto adalah hampir sama dengan batik-batik keluaran Yogyakarta, yaitu dasarnya putih dan warna coraknya coklat muda dan biru tua. Yang dikenal sejak lebih dari seabad yang lalu tempat pembatikan didesa Majan dan Simo. Desa ini juga mempunyai riwayat sebagai peninggalan dari zaman peperangan Pangeran Diponegoro tahun 1825.

Meskipun pembatikan dikenal sejak jaman Majapahait namun perkembangan batik mulai menyebar sejak pesat didaerah Jawa Tengah Surakarta dan Yogyakata, pada jaman kerajaan di daerah ini. Hal itu tampak bahwa perkembangan batik di Mojokerto dan Tulung Agung berikutnya lebih dipenagruhi corak batik Solo dan Yogyakarta.
Didalam berkecamuknya clash antara tentara kolonial Belanda dengan pasukan-pasukan pangeran Diponegoro maka sebagian dari pasukan-pasukan Kyai Mojo mengundurkan diri kearah timur dan sampai sekarang bernama Majan. Sejak zaman penjajahan Belanda hingga zaman kemerdekaan ini desa Majan berstatus desa Merdikan (Daerah Istimewa), dan kepala desanya seorang kiyai yang statusnya Uirun-temurun.Pembuatan batik Majan ini merupakan naluri (peninggalan) dari seni membuat batik zaman perang Diponegoro itu.
Warna babaran batik Majan dan Simo adalah unik karena warna babarannya merah menyala (dari kulit mengkudu) dan warna lainnya dari tom. Sebagai batik setra sejak dahulu kala terkenal juga didaerah desa Sembung, yang para pengusaha batik kebanyakan berasal dari Sala yang datang di Tulungagung pada akhir abad ke-XIX. Hanya sekarang masih terdapat beberapa keluarga pembatikan dari Sala yang menetap didaerah Sembung. Selain dari tempat-tempat tesebut juga terdapat daerah pembatikan di Trenggalek dan juga ada beberapa di Kediri, tetapi sifat pembatikan sebagian kerajinan rumah tangga dan babarannya batik tulis.

Jaman Perkembangan Islam
Riwayat pembatikan di daerah Jawa Timur lainnya adalah di Ponorogo, yang kisahnya berkaitan dengan penyebaran ajaran Islam di daerah ini. Riwayat Batik. Disebutkan masalah seni batik didaerah Ponorogo erat hubungannya dengan perkembangan agama Islam dan kerajaan-kerajaan dahulu. Konon, di daerah Batoro Katong, ada seorang keturunan dari kerajaan Majapahit yang namanya Raden Katong adik dari Raden Patah. Batoro Katong inilah yang membawa agama Islam ke Ponorogo dan petilasan yang ada sekarang ialah sebuah mesjid didaerah Patihan Wetan.

Perkembangan selanjutanya, di Ponorogo, di daerah Tegalsari ada sebuah pesantren yang diasuh Kyai Hasan Basri atau yang dikenal dengan sebutan Kyai Agung Tegalsari. Pesantren Tegalsari ini selain mengajarkan agama Islam juga mengajarkan ilmu ketatanegaraan, ilmu perang dan kesusasteraan. Seorang murid yang terkenal dari Tegalsari dibidang sastra ialah Raden Ronggowarsito. Kyai Hasan Basri ini diambil menjadi menantu oleh raja Kraton Solo.
Waktu itu seni batik baru terbatas dalam lingkungan kraton. Oleh karena putri keraton Solo menjadi istri Kyai Hasan Basri maka dibawalah ke Tegalsari dan diikuti oleh pengiring-pengiringnya. disamping itu banyak pula keluarga kraton Solo belajar dipesantren ini. Peristiwa inilah yang membawa seni bafik keluar dari kraton menuju ke Ponorogo. Pemuda-pemudi yang dididik di Tegalsari ini kalau sudah keluar, dalam masyarakat akan menyumbangkan dharma batiknya dalam bidang-bidang kepamongan dan agama.

Daerah perbatikan lama yang bisa kita lihat sekarang ialah daerah Kauman yaitu Kepatihan Wetan sekarang dan dari sini meluas ke desa-desa Ronowijoyo, Mangunsuman, Kertosari, Setono, Cokromenggalan, Kadipaten, Nologaten, Bangunsari, Cekok, Banyudono dan Ngunut. Waktu itu obat-obat yang dipakai dalam pembatikan ialah buatan dalam negeri sendiri dari kayu-kayuan antara lain; pohon tom, mengkudu, kayu tinggi. Sedangkan bahan kainputihnyajugamemakai buatan sendiri dari tenunan gendong. Kain putih import bam dikenal di Indonesia kira-kira akhir abad ke-19.

Pembuatan batik cap di Ponorogo baru dikenal setelah perang dunia pertama yang dibawa oleh seorang Cina bernama Kwee Seng dari Banyumas. Daerah Ponorogo awal abad ke-20 terkenal batiknya dalam pewarnaan nila yang tidak luntur dan itulah sebabnya pengusaha-pengusaha batik dari Banyumas dan Solo banyak memberikan pekerjaan kepada pengusaha-pengusaha batik di Ponorogo. Akibat dikenalnya batik cap maka produksi Ponorogo setelah perang dunia petama sampai pecahnya perang dunia kedua terkenal dengan batik kasarnya yaitu batik cap mori biru. Pasaran batik cap kasar Ponorogo kemudian terkenal seluruh Indonesia.

Batik Solo dan Yogyakarta
Dari kerjaan-kerajaan di Solo dan Yogyakarta sekitamya abad 17,18 dan 19, batik kemudian berkembang luas, khususnya di wilayah Pulau Jawa. Awalnya batik hanya sekadar hobi dari para keluarga raja di dalam berhias lewat pakaian. Namun perkembangan selanjutnya, pleh masyarakat batik dikembangkan menjadi komoditi perdagangan.

Batik Solo terkenal dengan corak dan pola tradisionalnya batik dalam proses cap maupun dalam batik tulisnya. Bahan-bahan yang dipergunakan untuk pewarnaan masih tetap banyak memakai bahan-bahan dalam negeri seperti soga Jawa yang sudah terkenal sejak dari dahulu. Polanya tetap antara lain terkenal dengan “Sidomukti” dan “Sidoluruh”.

Sedangkan Asal-usul pembatikan didaerah Yogyakarta dikenal semenjak kerajaan Mataram ke-I dengan rajanya Panembahan Senopati. Daerah pembatikan pertama ialah didesa Plered. Pembatikan pada masa itu terbatas dalam lingkungan keluarga kraton yang dikerjakan oleh wanita-wanita pembantu ratu. Dari sini pembatikan meluas pada trap pertama pada keluarga kraton lainnya yaitu istri dari abdi dalem dan tentara-tentara. Pada upacara resmi kerajaan keluarga kraton baik pria maupun wanita memakai pakaian dengan kombonasi batik dan lurik. Oleh karena kerajaan ini mendapat kunjungan dari rakyat dan rakyat tertarik pada pakaian-pakaian yang dipakai oleh keluarga kraton dan ditiru oleh rakyat dan akhirnya meluaslah pembatikan keluar dari tembok kraton.

Akibat dari peperangan waktu zaman dahulu baik antara keluarga raja-raja maupun antara penjajahan Belanda dahulu, maka banyak keluarga-keluarga raja yang mengungsi dan menetap didaerah-daerah baru antara lain ke Banyumas, Pekalongan, dan kedaerah Timur Ponorogo, Tulungagung dan sebagainy a. Meluasny a daerah pembatikan ini sampai kedaerah-daerah itu menurut perkembangan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dimulai abad ke-18. Keluarga-keluarga kraton yang mengungsi inilah yang mengembangkan pembatikan seluruh pelosok pulau Jawa yang ada sekarang dan berkembang menurut alam dan daerah baru itu.
Perang Pangeran Diponegoro melawan Belanda, mendesak sang pangeran dan keluarganya serta para pengikutnya harus meninggalkan daerah kerajaan. Mereka kemudian tersebar ke arah Timur dan Barat. Kemudian di daerah-daerah baru itu para keluarga dan pengikut pangeran Diponegoro mengembangkan batik.

Ke Timur batik Solo dan Yogyakarta menyempurnakan corak batik yang telah ada di Mojokerto serta Tulung Agung. Selain itu juga menyebar ke Gresik, Surabaya dan Madura. Sedang ke arah Barat batik berkem-bang di Banyumas, Pekalongan, Tegal, Cirebon.
Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun temurun, sehingga kadang kala suatu motif dapat dikenali berasal dari batik keluarga tertentu. Beberapa motif batik dapat menunjukkan status seseorang. Bahkan sampai saat ini, beberapa motif batik tadisional hanya dipakai oleh keluarga keraton Yogyakarta dan Surakarta.

Semula batik dibuat di atas bahan dengan warna putih yang terbuat dari kapas yang dinamakan kain mori. Dewasa ini batik juga dibuat di atas bahan lain seperti sutera, poliester, rayon dan bahan sintetis lainnya. Motif batik dibentuk dengan cairan lilin dengan menggunakan alat yang dinamakan canting untuk motif halus, atau kuas untuk motif berukuran besar, sehingga cairan lilin meresap ke dalam serat kain. Kain yang telah dilukis dengan lilin kemudian dicelup dengan warna yang diinginkan, biasanya dimulai dari warna-warna muda. Pencelupan kemudian dilakukan untuk motif lain dengan warna lebih tua atau gelap. Setelah beberapa kali proses pewarnaan, kain yang telah dibatik dicelupkan ke dalam bahan kimia untuk melarutkan lilin.

Minggu, 04 Oktober 2009

Kain Tapis - Lampung

Kain Tapis merupakan salah satu jenis kerajinan tradisional masyarakat Lampung dalam menyelaraskan kehidupannya baik terhadap lingkungannya maupun Sang Pencipta Alam Semesta. Karena itu munculnya kain Tapis ini ditempuh melalui tahap-tahap waktu yang mengarah kepada kesempurnaan teknik tenunnya, maupun cara-cara memberikan ragam hias yang sesuai dengan perkembangan kebudayaan masyarakat.
Menurut Van der Hoop disebutkan bahwa orang lampung telah menenun kain Brokat yang disebut Nampan (Tampan) dan kain Pelepai sejak abad II masehi. Motif kain ini ialah kait dan konci (Key and Rhomboid shape), pohon hayat dan bangunan yang berisikan roh manusia yang telah meninggal. Juga terdapat motif binatang, matahari, bulan serta bunga melati. Dikenal juga tenun kain tapis yang bertingkat, disulam dengan benang sutera putih yang disebut Kain Tapis Inuh.
Hiasan-hiasan yang terdapat pada kain tenun Lampung juga memiliki unsur-unsur yang sama dengan ragam hias di daerah lain. Hal ini terlihat dari unsur-unsur pengaruh taradisi Neolithikum yang memang banyak ditemukan di Indonesia.
Masuknya agama Islam di Lampung, ternyata juga memperkaya perkembangan kerajinan tapis ini. Walaupun unsur baru tersebut telah berpengaruh, unsur lama tetap dipertahankan.
Adanya komunikasi dan lalu lintas antar
kepulauan Indonesia sangat memungkinkan penduduknya mengembangkan suatu jaringan maritim. Dunia kemaritiman atau disebut dengan zaman bahari sudah mulai berkembang sejak zaman kerajaan Hindu Indonesia dan mencapai kejayaan pada masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan islam antara tahun 1500 - 1700 .
Bermula dari latar belakang sejarah ini, imajinasi dan kreasi seniman pencipta jelas mempengaruhi hasil ciptaan yang mengambil ide-ide pada kehidupan sehari-hari yang berlangsung disekitar lingkungan seniman dimana ia tinggal. Penggunaan transportasi pelayaran saat itu dan alam lingkungan laut telah memberi ide penggunaan motif hias pada kain kapal. Ragam motif kapal pada kain kapal menunjukkan adanya keragaman bentuk dan konstruksi kapal yang digunakan.
Dalam perkembangannya, ternyata tidak semua suku Lampung menggunakan Tapis sebagai sarana perlengkapan hidup. Diketahui suku Lampung yang umum memproduksi dan mengembangkan tenun Tapis adalah suku Lampung yang beradat Pepadun.
Jenis Tapis Lampung Menurut Asal pemakainya:
Tapis Lampung dari Pesisir :
Tapis Inuh
Tapis Cucuk Andak
Tapis Semaka
Tapis Kuning
Tapis Cukkil
Tapis Jinggu
Tapis lampung dari Pubian Telu Suku :
Tapis Jung Sarat
Tapis Balak
Tapis Laut Linau
Tapis Raja Medal
Tapis Pucuk Rebung
Tapis Cucuk Handak
Tapis Tuho
Tapis Sasap
Tapis Lawok Silung
Tapis Lawok Handak
Tapis Lampung dari Sungkai Way Kanan :
Tapis Jung Sarat
Tapis Balak
Tapis Pucuk Rebung
Tapis Halom/Gabo
Tapis Kaca
Tapis Kuning
Tapis Lawok Halom
Tapis Tuha
Tapis Raja Medal
Tapis Lawok Silung
Tapis Lampung dari Tulang Bawang Mego Pak:
Tapis Dewosano
Tapis Limar Sekebar
Tapis Ratu Tulang Bawang
Tapis Bintang Perak
Tapis Limar Tunggal
Tapis Sasab
Tapis Kilap Turki
Tapis Jung Sarat
Tapis Kaco Mato di Lem
Tapis Kibang
Tapis Cukkil
Tapis Cucuk Sutero
Tapis Lampung dari Abung Siwo Mego :
Tapis Rajo Tunggal
Tapis Lawet Andak
Tapis Lawet Silung
Tapis Lawet Linau
Tapis Jung Sarat
Tapis Raja Medal
Tapis Nyelem di Laut Timbul di Gunung
Tapis Cucuk Andak
Tapis Balak
Tapis Pucuk Rebung
Tapis Cucuk Semako
Tapis Tuho
Tapis Cucuk Agheng
Tapis Gajah Mekhem
Tapis Sasap
Tapis Kuning
Tapis Kaco
Tapis Serdadu Baris
Tapis Jung Sarat
Jenis Tapis Lampung Menurut Pemakainnya
Tapis Jung Sarat
Dipakai oleh pengantin wanita pada upacara perkawinan adat. Dapat juga dipakai oleh kelompok isteri kerabat yang lebih tua yang menghadiri upacara mengambil gelar, pengantin serta muli cangget (gadis penari) pada upacara adat. Tapis Raja Tunggal
Dipakai oleh isteri kerabat paling tua (tuho penyimbang) pada upacara perkawinan adat, pengambilan gelar pangeran dan sutan.
Di daerah Abung Lampung Utara dipakai oleh gadis-gadis dalam menghadiri upacara adat.
Tapis Raja Medal
Dipakai oleh kelompok isteri kerabat paling tua (tuho penyimbang) pada upacara adat seperti : mengawinkan anak, pengambilan gelar pangeran dan sutan.
Di daerah
Abung Lampung Utara tapis ini digunakan oleh pengantin wanita pada upacara perkawinan adat.
Tapis Laut Andak
Dipakai oleh muli cangget (gadis penari) pada acara adat cangget. Dipakai juga oleh Anak Benulung (isteri adik) sebagai pengiring pada upacara pengambilan gelar sutan serta dipakai juga oleh menantu perempuan pada acara pengambilan gelar sutan.
Tapis Balak
Dipakai oleh kelompok adik perempuan dan kelompok isteri anak seorang yang sedang mengambil gelar pangeran pada upacara pengambilan gelar atau pada upacara mengawinkan anak. Tapis ini dapat juga dipakai oleh muli cangget (gadis penari) pada upacara adat.
Tapis Silung
Dipakai oleh kelompok orang tua yang tergolong kerabat dekat pada upacara adat seperti mengawinkan anak, pengambilan gelar, khitanan dan lain-lain. Dapat juga dipakai pada saat pengarakan pengantin.
Tapis Laut Linau
Dipakai oleh kerabat isteri yang tergolong kerabat jauh dalam menghadiri upacara adat. Dipakai juga oleh para gadis pengiring pengantin pada upacara turun mandi pengantin dan mengambil gelar pangeran serta dikenakan pula oleh gadis penari (muli cangget).
Tapis Pucuk Rebung
Tapis ini dipakai oleh kelompok ibu-ibu/para isteri untuk menghadiri upacara adat.
Di daerah Menggala tapis ini disebut juga tapis balak, dipakai oleh wanita pada saat menghadiri upacara adat.
Tapis Cucuk Andak
Dipakai oleh kelompok isteri keluarga penyimbang (kepala adat/suku) yang sudah bergelar sutan dalam menghadiri upacara perkawinan, pengambilan gelar adat.
Di daerah
Lampung Utara tapis ini dipakai oleh pengantin wanita dalam upacara perkawinan adat.
Di daerah Abung
Lampung Utara tapis ini dipakai oleh ibu-ibu pengiring pengantin pada upacara adat perkawinan.
Tapis Limar Sekebar
Tapis ini dipakai oleh kelompok isteri dalam menghadiri pesta adat serta dipakai juga oleh gadis pengiring pengantin dalam upacara adat.
Tapis Cucuk Pinggir
Dipakai oleh kelompok isteri dalam menghadiri pesta adat dan dipakai juga oleh gadis pengiring pengantin pada upacara perkawinan adat.
Tapis Tuho
Tapis ini dipakai oleh seorang isteri yang suaminya sedang mengambil gelar sutan. Dipakai juga oleh kelompok orang tua (mepahao) yang sedang mengambil gelar sutan serta dipakai pula oleh isteri sutan dalam menghadiri upacara pengambilan gelar kerabatnya yang dekat.
Tapis Agheng/Areng
Dipakai oleh kelompok isteri yang sudah mendapat gelar sutan (suaminya) pada upacara pengarakan naik pepadun/pengambilan gelar dan dipakai pula oleh pengantin sebagai pakaian sehari-hari.
Tapis Inuh
Kain tapis ini umumnya dipakai pada saat menghadiri upacara-upacara adat. Tapis ini berasal dari daerah Krui, Lampung Barat.
Tapis Dewosano
Di daerah Menggala dan Kota Bumi, kain tapis ini dipakai oleh pengantin wanita pada saat menghadiri upacara adat.
Tapis Kaca
Tapis ini dipakai oleh wanita-wanita dalam menghadiri upacara adat. Bisa juga dipakai oleh wanita pengiring pengantin pada upacara adat. Tapis ini di daerah Pardasuka Lampung Selatan dipakai oleh laki-laki pada saat upacara adat.
Tapis Bintang
Tapis Bintang ini dipakai oleh pengantin wanita pada saat upacara adat.
Tapis Bidak Cukkil
Model kain Tapis ini dipakai oleh laki-laki pada saat menghadiri upacara-upacara adat.
Tapis Bintang Perak
Tapis ini dapat dipakai pada upacara-upacara adat dan berasal dari daerah Menggala, Lampung Utara.

(http://id.wikipedia.org)

Kain Balapak, Bacatua - Pandai Sikek SumBar


Kain balapak atau kain bacatua merupakan kain songket yang berasal dari Pandai Sikek Sumatera Barat. Kalau menyebut Pandai Sikek, tentu ingat songket. Pandai Sikek sudah identik dengan songket. Namun orang Pandai Sikek nya sendiri tidak menyebutnya songket tetapi tenun, sebab yang dimaksud adalah benang katun dan benang mas yang ditenun dengan tangan, diatas alat yang bernama panta sehingga menjadi kain, yang kemudian kita kenal dengan nama kain balapak atau kain bacatua yang dipakai pai baralek, yaitu pada pesta perkawinan. Benang katun dan emas ditenun dengan tangan di atas alat yang disebut panta, menghasilkan kain balapak atau kain bacatua yang dipakai Pai Baralek, yaitu pada pesta perkawinan dan pada setiap upacara adat. Dengan kata-kata adat Minangkabau diabadikan dalam nama-nama motifnya, kain tenun ini merupakan pakaian raja-raja, datuk-datuk dan puti-puti.

Bagi orang Minangkabau, yang menyebut diri mereka sebagai orang yang beradat, kain tenun adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari upacara-upacara adat istiadat, mulai dari yang dipakai sebagai sarung dan selendang, sebagai tingkuluk dan tokah bagi perempuan, dan sebagai sisamping, salempang dan cawek bajambua bagi laki-laki.

Kain tenun juga diberikan sebagai tando pada upacara adat pertunagan dan pada waktu kusuik ka disalasaikan-karuah ka dipajaniah. Selain itu kain-kain tenun yang menjadi koleksi suatu kaum akan dipajang pada seutas tali yang direntangkan diantara tiang-tiang utama rumah yang baru melaksanakan upacara batagak rumah gadang.

Tidak ada sejarah yang pasti tentang kapan tenun songket mulai dikembangkan di Minangkabau atau di Pandai Sikek. Akan tetapi kepandaian menenun tetuntulah sudah dibawa oleh nenek moyang kita bangsa Austronesia atau yang disebut juga Malayo-Polynesia, dari Tanah Asal, ketika terjadi migrasi besar-besaran penduduk dari daratan Asia ke arah selatan dan tumur beberapa ribu tahun yang lalu, bersamaan dengan segala kepandaian yang esensial untuk kehidupan, seperti kepandaian becocok tanam, kepandaian membuat dan menggunakan alat-alat pertanian dan pertukangan dan senjata, dan sebagainya. Sesuai dengan fitrah manusia, kepandaian dasar pertukangan tentu mengalami pengkayaan estetika sehingga menjadi apa yang sekarang dikenal dengan istilah kerajinan, dan kemudian menjadi seni. Hal ini sejalan dengan perkembangan di bidang ekpresi lainnya seperti seni gerak, seni suara dan seni pementasan. Sebagai warisan demikian, tenun bisa dikatakan sama umurnya dengan stelsel matrilinial orang Minang, terukaan sawah di Luhak nan Tigo, dan budaya lisan Kato Pusako pepatah petitih.

Di sini juga kita menemukan kesamaan rumpun Austronesia pada kain tenun Sumatra pada umumnya dengan seluruh kain tenun Nusantara hingga ke Sumba dan Timor, juga dengan tenunan La Na di Thailand utara dan Laos. Rumpun ini akan memecah nanti di lihat dari segi kahalusan motif setelah masuknya kebudayaan India dan Cina dari utara. Akan tetapi kesamaannya beretahan di segi peralatan tenun dan teknik bertenun.
Beberapa ratus tahun yang lalu, di hulu sungai Batanghari, yang disebut Sungai Dareh, berkembang suatu pemukiman dan pusat perdagangan yang makmur. Penduduk dari daerah yang sekarang disebut Alam Surambi Sungai Pagu, dan dari daerah-daerah yang lebih ke utara lagi, datang ke tempat ini untuk menjual hasil-hasil alam berupa rempah-rempah dan emas. Daerah ini dikunjungi pula oleh pedagang-pedagang yang datang dari seberang laut, dari India dan Cina. Kaum wanita di daerah ini memakai pakaian yang lebih cantik bagi ukuran masa itu, istilah sekarang: lebih fashionable.

Daerah ini kemudian terkenal dengan nama kerajaan Darmasyraya. Inilah cikla-bakal kebudayaan Melayu. Bertahun-tahun daerah ini menjadi titik pertemuan ekonomi dan budaya antara kebudayaan-kebudayan yang sudah lebih kaya dan maju di utara, Cina, Mongol dan India, dengan budaya lokal. Dalam kurun beberapa puluh tahun itu, atau mungkin sampai dua ratus tahun, setalah mengalami pergantian raja-raja dan penguasa, penduduknya menyerap banyak ilmu dan teknologi dari bangsa asing, disamping kemajuan bidang ekonomi dan politik yang memperkaya dan meningkatkan mutu kebudayaan lokal. Diantara kemajuan yang dialami adalah dalam bidang pakaian dan teknik bertenun, beserta pengkayaan corak motif dan bahan-bahan yang dapat dipergunakan.

Kalau sebelumnya, sesuai dengan perkembangan masyarakat, orang membuat pakaian dari benang yang dibuat dari bahan-bahan yang tersedia di tempat pemukiman mereka, seperti serat kulit pohon, dengan perkembangan perdagangan orang-orang India memperkenalkan bahan dari serat kapas dan linen, juga benang yang disalut dengan lempengan emas tipis. Pedagang Cina membawa benang sutra yang berasal dari kepompong ulat sutra, juga benang yang dibungkus dengan emas kertas kemudian dikenal dengan nama emas prada sehingga bisa diperkirakan bahwa pedangang India pun banyak memperdagangkan bahan tersebut.

Pada tahun 1347 Adityawarman memindahkan pusat kerajaan dan kebudayaan Melayu dari Darmasyraya ke Pagaruruyung, dan kawasan di sekitar gunung Merapi dan Gunung Singgalang yang pada waktu itu terdiri dari Luhak nan Tigo dan Rantaunya yang Tujuh Jurai, menjadi terkenal sebagai Alam Minangkabau, dengan beberapa pusat pemerintahan yang tersebar di Pariangan, Sungai Tarok, Limo Kaum, Pagaruryung, Batipuh, Sumanik, Saruaso, Buo, Biaro, Payakumbuh, dan lain-lain.

Alam Minangkabau dengan falsafah alam yang dianut masyrakatnya, alur dan patut serta alam takambang jadi guru, sangat memberi peluang bagi tumbuh dan berkembangya kebudayaan dan kesenian dengan pengkayaan dari unsur-unsur budaya asing. Susunan masyarakat yang bersuku-suku eksogami dan, yang lebih utama lagi, aturan sumando manyumando, telah mengeliminir konflik antar kelompok sehingga kedamaian dapat terwujud dalam jangka waktu yang panjang dan memberi kesempatan bagi anak nagari untuk memperlajari dan memperhalus ilmu-ilmu dan keterampilan termasuk keterampilan bertenun.

Daerah Batipuh, sebagai salah satu pusat pemerintahan, kedudukan Tuan Gadang Batipuh sebagai Harimau Campo Koto Piliang, dapat diduga menjadi salah satu daerah yang amat penting pada masa kejayaan Minangkabau dahulu, bersama daerah-daerah lain yang tersebut diatas. Sejalan dengan keadaan itu, masyarakatnya tentu mandapat kesempatan yang lebih banyak pula untuk melakukan kegiatan ekonomi dan budaya termasuk keterampilan tenun sehingga mutu dan corak kain tenun semakin tinggi dan halus. Gadis-gadis menenun kain sarung dan tingkuluk dengan benang emas untuk dipakai ketika mereka menikah, dan perempuan lainnya menenun kain untuk dijual.

Adat istiadat di Minangkabau mendorong kegiatan bertenun ini lebih jauh lagi karena pada setiap kesempatan upacara adat, kain tenun selalu wajib dipakai dan dihadirkan. Kata-kata adat dinukilkan di dalam nama-nama motif sehingga menjadi buah bibir dan diucapkan setiap saat. Kain tenun menjadi pakaian raja-raja, datuk-datuk dan puti-puti. Dimasa inilah, dimasa kejayaan Turki Usmani dan Asia Tengah, pada puncak kebesaran Dinasti Mongol di India ketika Sultan Akbar, 1556-1605 sangat memajukan seni dan ilmu pengetahuan, pada masa kejayaan Dinasti Ming dan Manchu di Cina: ketika itu pertukaran perdangangan dan budaya sedang sangat pesat dan melibatkan Minangkabau sebagai suatu kawasan yang menjadi lintasan perdagangan dan juga negri yang mempunyai komoditi dagang yang penting yaitu rempah-rempah dan emas, seni menenun kain dangan sutra dan benang emas di Sumatra, bersamaan dengan suji dan sulaman pun mencapai puncak kemajuannya dan menemukan ciri khasnya tersendiri.

Hampir semua pelosok Minangkabau, dari Luhak sampai ke rantau, mempunyai pusat-pusat kerajinan tenun, suji dan sulaman. Masing-masih mengembangkan corak dan ciri-cirinya sendiri, hal yang sangat dikuasai oleh para pedagang barang antik dan kolektor. Beberapa nagari yang terkenal sekali dengan kain tenununya dan sangat produktif pada masa itu adalah Koto Gadang, Sungayang, dan Pitalah di Batipuh, dan nagari yang melanjutkan tradisi warisan menenun hari ini adalah nagari yang termasuk Batipuh Sapuluh Koto juga yaitu Pandai Sikek.

Motif-motif kain tenun Pandai Sikek selalu diambil dari contoh kain-kain tua yang masih tersimpan dengan baik dan sering dipakai sebagai pakain pada upacara-upacara adat dan untuk fungsi lain dalam lingkup upacara adat, misalnya sebagai “tando,” dan juga dipajang atau digelar pada waktu batagak rumah.

Sulit mengatakan siapa yang dapat dikatakan sebagai master tenun hari ini; tetapi diantara ahli tenun yang terkenal pada generasi sebelum kita ada nama-nama Sari Bentan, Namun, Salamah di Baruah; Nuriah, Ipah, Pasah, Nyiah dan Jalisah di Tanjung.

Ada belasan orang master tenun di Pandai Sikek pada zaman itu. Akan tetap kira-kira seratus tahun yang lalu diyakin beberapa wanita Pandai Sikek sangat aktif dibidang usaha dan kerajinan menenuni ini sehingga nama julukan mereka yang terambil dari peralatan tenun lebih dikenal sampai sekarang. Diantaranya, dikenal nama-nama Inyiak Makau di Tanjuang, Inyiak Suri di Koto Tinggi, Inyiak Banang, dan Inyiak Karok.

sumber: