Pemaparan Makna Simbolik Motif Batik Tradisional
1.Motif Sawat
Kata sawat berarti melempar ( Jawa: balang). Motif ini sebenarnya berawal dari kepercayaan orang-orang Jawa akan adanya seorang dewa yang bernama Batara Indra. Menurut para informan, Batara Indra memiliki sebuah senjata pusaka yang disebut wajra atau bajra, yang berarti pula thathit (kilat). Cara menggunakan senjata pusaka ini adalah dengan melemparkan (Jawa: nyawatake). Menurut mereka, bentuk senjata pusaka tersebut menyerupai seekor ular yang bertaring tajam serta bersayap (Jawa: mawa lar), sehingga jalannya sangat cepat dan tidak terlihat oleh indera mata, sebab hanya berupa sinar merah di angkasa. Senjata pusaka itu bila dilemparkan akan menyambar-nyambar di uadara dan mengeluarkan suara yang amat keras dan menakutkan. Walaupun menakutkan, wajra juga mendatangkan kegembiraan sebab ia dianggap sebagai pembawa hujan yang akan mendatangkan kemakmuran bagi umat manusia. Senjata pusaka Batara Indra ini diwujudkan ke dalam motif batik berupa sebelah sayap dengan harapan agar si pemakai akan selalu mendapatkan perlindungan dalam kehidupannya.
2. Motif Gurda
Motif Gurda lebih mudah dimengerti karena disamping bentuknya yang sederhana juga gambarnya sangat jelas karena tidak terlalu banyak variasinya. Kata gurda berasal dari kata garuda, yaitu nama sejenis burung besar yang menurut pandangan hidup orang Jawa khususnya Yogyakarta mempunyai kedudukan yang sangat penting. Bentuk motif gurda ini terdiri dari dua buah sayap (lar) dan ditengah-tengahnya terdapat badan dan ekor. Menurut orang Yogyakarta burung ini dianggap sebagai binatang yang suci.
Dalam cerita kenaikan Batara Wisnu ke Nirwana dengan mengendarai burung Garuda.Burung ini dianggap sebagai burung yang teguh timbul tanpa maguru, yang artinya sakti tanpa berguru kepada siapapun. Adapun cerita tentang asal mula Garuda menjadi kendaraan Sang Hyang Wisnu, menurut salah seorang informan berawal ketika terjadi peperangan antara Garuda dengan para dewa. Dalam peperangan tersebut para dewa dapat dikalahkan , sehingga mereka meminta bantuan pada Sang Hyang Wisnu, yang kemudian menemui burung Garuda. Pada pertemuan itu terjadi perdebatan diantara keduanya. Oleh karena para dewa telah mengalami kekalahan maka burung Garuda mengajukan usul agar para dewa mengajukan permohonan apa saja yang nantinya akan dikabulkan oleh Garuda. Akhirnya Sang Hyang Wisnu mengajukan permohonan agar Garuda bersedia menjadi tunggangannya untuk mengantarkan kembali ke Sorga Loka (tempat tinggal para dewa).
Menurut pendapat orang Yogyakarta Sang Hyang Wisnu sering disebut sebagai Sang Surya yang berarti matahari atau dewa matahari. Berdasarkan peristiwa diatas, bahwa akhirnya Garuda menjadi tunggangannya Sang Dewa Matahari, maka kemudian Garuda juga dijadikan sebagai lambang matahari. Kecuali itu Garuda dianggap pula sebagai lambing kejantanan. Dasar pemikirannya adalah, karena Garuda sebagai lambang matahari, maka Garuda dipandang sebagai sumber kehidupan yang utama, sekaligus ia merupakan lambang kejantanan, dan diharapkan agar selalu menerangi kehidupan umat manusia di dunia. Hal inilah kiranya mengapa orang Yogyakarta mewujudkan burung yang suci ini kedalam motif batik.
3. Motif Meru
Motif meru, menurut kepercayaan orang Yogyakarta motif ini juga memiliki latar belakang tersendiri yang secara garis besarnya adalah sebagai berikut. Meru berasal dari kata Mahameru, yaitu nama sebuah gunung yang dianggap sakral karena menjadi tempat tinggal atau singgasana bagi Tri Murti yaitu Sang Hyang Wisnu, Sang Hyang Brahma dan Sang Hyang Siwa. Menurut salah seorang informan, di puncak Gunung Mahameru terdapat air keramat yang dinamakan tirta kamandalu, yaitu air yang merupakan sumber kehidupan abadi. Demikianlah Tri Murti dilambangkan sebagai sumber dari segala kehidupan, sumber kemakmuran, dan segala kebahagiaan hidup di dunia. Berdasarkan keyakinan seperti di atas maka orang-orang Yogyakarta mewujudkan pandangannya tersebut ke dalam motif batik, dengan harapan agar mendapatkan berkah dari Tri Murti.
Motif meru ini selain dituangkan dalam lukisan batik, biasanya juga digunakan sebagai motif paes (rias) bagi para pengantin wanita adat Yogyakarta.
4. Motif Semen
Motif semen berkaitan erat dengan motif meru, karena kata semen mempunyai arti semi atau tunas, dan dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa di Gunung Mahameru ataupun pegunungan pada umumnya selalu terdapat tunas-tunas atau tumbuh-tumbuhan yang selalu bersemi. Dalam kepercayaan masyarakat Yogyakarta, di Gunung Mahameru terdapat pohon-pohon yang dianggap sakral. Lebih lanjut salah seorang menceritakan bahwa menurut orang Yogyakarta pepohonan yang dianggap sakral terdiri dari pohon sandilata (pohon hidup) yaitu pohon yang dapat menghidupkan orang yang sudah mati; pohon soma yang tumbuh di puncak Mahameru, yang dapat memberikan kesaktian; pohon jambuwreksa, yang tumbuh di sebelah barat laut , yang mempunyai ketinggian sampai menjulang ke angkasa dengan cabang-cabang yang sangat banyak. Selain itu, di Gunung Mahameru terdapat juga pepohonan yang menjadi milik dari masing-masing Dewa Tri Murti. Pohon acwata yang akarnya menjulur ke bawah dianggap sebagai lambang milik Sang Hyang Wisnu, melambangkan sinar matahari sebagai pohon yang kekal abadi. Pohon plasa dianggap milik Sang Hyang Brahma, sedangkan pohon milik Sang Hyang Siwa dilambangkan dengan pohon nyagroda.
Oleh karena pohon-pohon suci yang terdapat di Gunung Mahameru dipercaya orang Yogyakarta sebagai salah satu bagian dari sumber kehidupan manusia di dunia, maka diwujudkan dalam bentuk motif batik. Di balik bentuk itulah terkandung harapan agar si pemakai selalu dapat berhubungan dengan Sang Maha Pencipta.
Selain jenis motif-motif sebagaimana yang telah dikemukakan diatas, yaitu motif-motif yang biasanya terdapat pada kain batik ataupun yang merupakan bagian dari berbagai motif pada sebuah kain batik, ada beberapa motif yang tidak merupakan bagian dari sebuah kain batik. Motif jenis ini berupa kain tersendiri, yang biasanya motifnya berdasarkan atau berbentuk dari dua macam warna. Adapun jenis motif semacam ini antara lain adalah sebagai berikut
1. Motif Bango-tulak
Motif
ini merupakan kombinasi dari dua warna hitam dan putih, di mana hitam di
sebelah luar, memberi batas pada warna putih yang ada di sebelah dalam. Motif
ini dianggap sebagai motif tertua. Menurut informan; nama Bango-tulak diambil
dari nama seekor burung yang mempunyai warna hitam dan putih yaitu tulak.
Menurut orang-orang Yogyakarta burung ini dianggap sebagai hal yang
melambangkan umur panjang. Warna hitam diartikan sebagai lambang kekal (Jawa:
langgeng), sedang warna putih sebagai lambang hidup (sinar kehidupan), dengan
demikian hitam-putih melambangkan hidup kekal. Menurut orang Yogyakarta, hidup
yang kekal itu hanya satu yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Jadi hitam dan putih
disini mengandung maksud menyerahkan atau mengharapkan hidupnya kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa. Dalam pandangan hidup orang Yogyakarta, hal ini disebut dengan
istilah Jumbuhing Kawula Gusti (penyatuan hamba dan Tuhan).
Pada
perkembangan selanjutnya nama bango-tulak menjadi bangun-tulak. Kata bangun
mempunyai arti bangun tidur dan membangun, memperbaiki atau mempengaruhi.
Sedangkan kata tulak, berarti sarat untuk menyingkirkan penyakit atau bahaya.
Bangun-tulak berarti membangun atau membuat sarat untuk menyingkirkan bahaya
dan penyakit agar manusia dapat selamat dalam hidupnya. Motif ini sampai
sekarang masih sering dipergunakan baik sebagai pakaian sehari-hari, biasanya
dipakai oleh para pegawai Kraton, juga dipergunakan sebagai perlengkapan
upacara-upacara sesuai dengan kepercayaan yang ada. Misalnya dalam upacara
perkawinan, mendirikan rumah, terutama apabila rumah tersebut mempergunakan
tiang-tiang kayu, maka kain ini dipergunakan sebagai penutup ujung tiang atas
sebagai penyangga blandar.
2.
Motif Sindur
Motif
sindur merupakan motif kain yang memiliki kombinasi warna merah dan putih.
Warna merah terdapat pada bagian tengah, dan putih pada bagian pinggir yang
membentuk gelombang. Motif sindur sering dipergunakan pada waktu orang
melaksanakan upacara pernikahan sebagai tanda bahwa ia adalah tuan rumah yang
mempunyai hajat. Kain ini dipakai oleh orang tua si pengantin dengan cara
diikatkan pada pinggang. Berdasarkan keterangan dari beberapa informan, warna
merah dan putih melambangkan permulaan (asal mula) dari hidup atau purwaning
dumadi. Menurut informan lebih lanjut, bahwa hal itu dikarenakan dari makna
warna-warna itu sendiri, yaitu putih mengandung arti hidup (bapa) sedang merah
melambangkan arti suci (biyung). Mengenai warna merah yang melambangkan
kesucian ini, para informan menjelaskan bahwa hal tersebut dapat diketahui dari
cerita Ramayana, di mana ia mengkisahkan ketika Sinta pulang dari Alengka ia
tidak dipercaya kesuciannya oleh Rama, hal ini karena ia telah lama berpisah
dengan Rama, dan dekat dengan Dasamuka. Dari ketidakpercayaan Rama ini,
kemudian Sinta menunjukkan kesuciannya kepada Rama dengan cara membakar diri,
akan tetapi ternyata ia tidak mati. Hal tersebut adalah suatu bukti bahwa Sinta
masih suci. Dari uraian inilah, kemudian warna merah sebagai perwujudan dari
api dilambangkan sebagai kesucian atau sebagai lambang Ibu (Jawa: biyung).
Selanjutnya dari informan dijelaskan bahwa, dalam upacara pernikahan kedua
warna tersebut, yaitu merah dan putih diartikan sebagai permulaan dari segala
kejadian hidup. Dengan demikian dalam upacara pernikahan, pemakaian sindur
dimaksudkan mempertemukan laki-laki dan perempuan sebagai cikal bakal dari
kelahiran hidup di dunia.
3.
Motif Gadhung Mlathi
Motif
Gadhung mlathi merupakan kombinasi dari warna hijau dan putih, warna putih
terletak di tengah dan hijau di bagian pinggir. Motif ini sering pula
dipergunakan oleh pengantin pria maupun pengantin wanita. Namun sekarang motif
ini jarang dipergunakan lagi pada kain (jarik), melainkan hanya kemben bagi
wanita dan destar (iket) yaitu ikat kepala bagi pria.
Kata
gadhung, menurut seorang informan adalah mempunyai arti hijau (warna hijau)
yang melambangkan kemakmuran, ayom-ayem, yaitu tenteram atau damai. Maksud dari
arti makmur disini tidak hanya kaya harta benda saja tetapi juga kaya jiwanya
dan memiliki banyak pengetahuan, karena mereka yakin bahwa apabila orang
memiliki banyak pengetahuan lahir batin dapat memberi ketenteraman dan
kedamaian hidup. Mlathi adalah bunga melati yang berwarna putih dan berbau
harum. Bau harum dari bunga itu sendiri dianggap orang mengandung kesusilaan
atau rasa susila, sehingga sejak dahulu sampai sekarang bunga melati mempunyai
kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta. Oleh karena
itu para pemakai motif ini berharap agar mereka dapat hidup makmur baik lahir
maupun batin.
sumbernya lupa... copas dr mana gituuu...