Sejarah
Berdasarkan
mitos, kain tenun gringsing berawal dari Dewa Indra, pelindung dan guru
kehidupan bagi masyarakat Tenganan. Dewa Indra kagum dengan keindahan langit di
malam hari dan dia memaparkan keindahan tersebut melalui motif tenunan kepada
rakyat pilihannya, yaitu rakyat Tenganan. Dewa itu mengajarkan para wanita
untuk menguasai teknik menenun kain gringsing yang melukiskan dan mengabadikan
keindahan bintang, bulan, matahari, dan
hamparan langit lainnya. Kain tenun yang berwarna gelap alami digunakan
masyarakat Tenganan dalam ritual keagamaan atau adat dan dipercaya
memiliki kekuatan magis. Kain ini juga disebut-sebut merupakan alat yang mampu
menyembuhkan penyakit dan menangkal pengaruh buruk. Pakar tekstil menyataan
bahwa teknik penenunan kain gringsing ini hanya dijumpai di tiga lokasi di
dunia, yaitu Tenganan (Indonesia), Jepang dan India.
Proses Pembuatan
Proses
pembuatan kain gringsing dari awal hingga akhir dikerjakan dengan tangan.
Benang yang digunakan merupakan hasil pintalan tangan dengan alat pintal
tradisional, bukan mesin. Benang tersebut diperoleh dari kapuk berbiji satu
yang didatangkan dari Nusa Penida karena hanya di tempat tersebut bisa
didapatkan kapuk berbiji
satu. Setelah selesai dipintal, benang akan mengalami proses perendaman dalam
minyak kemiri sebelum dilanjutkan ke proses ikat dan pewarnaan. Perendaman
tersebut bisa berlangsung lebih dari 40 hari hingga maksimum satu tahun dengan
penggantian air rendaman setiap 25-49 hari. Semakin lama perendaman, benang
akan makin kuat dan lebih lembut.
Buah kemiri (Aleurites
moluccana) diambil langsung di hutan Tenganan dan pembuat kain gringsing
harus menggunakan kemiri yang benar-benar matang, serta jatuh dari pohonnya.
Hal ini sesuai dengan awig-awig (aturan adat) yang menyatakan bahwa beberapa
jenis pohon tertentu (kemiri, keluak, tehep, dan durian) yang tumbuh
di atas tanah milik individu tidak boleh dipetik oleh pemiliknya, melainkan
hatus dibiarkan matang di pohon dan kemudian jatuh.
Benang akan
dipintal menjadi sehelai kain yang memiliki panjang (sisi pakan) dan lebar
(sisi lungsi) tertentu. Untuk merapatkan hasil tenunan, benang akan didorong
menggunakan tulang kelelawar. Kain yang sudah jadi akan diikat oleh juru ikat
mengikuti pola tertentu yang sudah ditentukan. Proses pengikatan menggunakan
dua warna tali rafia, yaitu jambon dan hijau muda. Setiap ikatan akan dibuka
sesuai proses pencelupan warna untuk menghasilkan motif dan pewarnaan yang
sesuai.
Proses
penataan benang, pengikatan, dan pewarnaan dilakukan pada sisi lungsi dan
pakan, sehingga teknik tersebut disebut dobel ikat. Pada teknik tenun ikat
biasa, umumnya hanya sisi pakan yang diberi motif, sedangkan sisi
lungsi hanya berupa benang polos, atau sebaliknya. Pola yang dibuat pada kain
harus ditenun dengan ketrampilan dan ketelitian sehingga setiap warna pada
lungsi akan bertemu dengan warna yang sama pada pakan dan menghasilkan motif
kain yang terlihat tegas.
Motif
Konon,
dulunya jenis tenun gringsing berjumlah sekitar 20 jenis. Namun, hingga tahun
2010, yang masih dikerjakan hanya ± 14 jenis, beberapa di antaranya adalah:
1. Lubeng, dicirikan dengan kalajengking
dan berfungsi sebagai busana adat dan digunakan dalam upacara keagamaan. Ada
beberapa macam motif Lubeng, yaitu Lubeng Luhur yang berukuran paling panjang
(tiga bunga berbentuk kalajengkin yang masih utuh), Lubeng Petang Dasa (satu
bunga kalajengking utuh di tengah dan di pinggir hanya setengah), dan Lubeng
Pat Likur (ukurannya terkecil).
- Sanan Empeg, dicirikan dengan
tiga bentuk kotak-kotak/poleng berwarna merah-hitam. Fungsi kain gringsing
bermotif ini adalah sebagai sarana upacara keagamaan dan adat, yaitu
sebagai pelengkap sesajian bagi masyarakat Tenganan Pegeringsingan. Bagi
masyarakat Bali di luar desa Tenganan, kain ini digunakan sebagai penutup
bantal/alas kepala orang melaksanakan upacara manusa yadnya potong gigi.
- Cecempakaan, dicirikan dengan
bunga cempaka dan berfungsi sebagai busana adat dan upacara keagamaan. Jenis-jenis
Gringsing Cecempakaan adalah Cecempakaan Petang Dasa (ukuran empat puluh),
Cecempakaan Putri, dan Geringsing Cecempakaan Pat Likur (ukuran 24
benang).
- Cemplong, dicirikan dengan
bunga besar di antara bunga-bunga kecil sehingga terlihat ada kekosongan
antara bunga yang menjadi cemplong. Gringsing cemplong juga berfungsi
sebagai busana adat dan upacara agama. Jenis-jenisnya terdiri dari ukuran Pat
Likur (24 benang), senteng/anteng (busana di pinggang wanita), dan ukuran
Petang Dasa (40 benang) yang sudah hampir punah.
- Gringsing Isi, motifnya semua
berisi atau penuh, tidak ada bagian kain yang kosong. Motif ini berfungsi
hanya untuk sarana upacara dan kuran yang ada hanya ukuran Pat Likur (24
benang).
- Wayang, terdiri dari gringsing
wayang kebo dan gringsing wayang putri. Motif ini paling sulit dikerjakan
dan memerlukan waktu pembuatan hingga 5 tahun. Motif wayang hanya terdiri
dari dua warna, yaitu hitam sebagai latar dan garis putih yang relatif
halus untuk membentuk sosok wayang. Untuk menciptakan garis putih dengan
tersebut diperlukan ketelitian tinggi karena tingkat kesulitan selama
pengikatan dan penenunan kain relatif sulit. Wayang kebo memiliki motif
wayang lelaki, sedangkan wayang putri hanya berisi motif wayang perempuan.
- Batun Tuung, yang dicirikan dengan biji terung, Ukurannya tidak besar dan digunakan untuk senteng (selendang) pada wanita dan sabuk (ikat pinggang) tubumuhan pada pria. Motif ini sudah hampir punah.
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Kain_gringsing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar